Thursday, May 18, 2017

Jika nanti Cabe tak lagi pedas,ingat postingan ini

Postingan bagus,-Jika kelak Cabe Tak lagi pedas,mungkin karena tuhan telah membaca artikel ini.
Jika Kelak cabe tak lagi membakar lidah ,mungkin karena tuhan sudah mengijabah doa petani ini.
baca,dan renungkan...

Jika hikmahnya tak dapat dipetik setidaknya huruf yang berserakan ini dapat memberi gambaran bagi sahabat,bahwa keringat petani cabe selalu lebih banyak dari jumlah huruf yang berbaris disini.

Ya Allah... apa yang salah dari kami sehingga orang-orang begitu antusias membicarakan hasil keringat kami dengan amarah yang serak dan serapah yang membahana.

Tidakkah Engkau melihat sendiri hambaMu ini bangun di subuh yang dingin, segera memanggul cangkul tanpa sarapan hanya demi bertebaran untuk mendapatkan rejeki halalMu.

Tanah kemarau yang keras kami balik berkali-kali hanya untuk menggemburkan lagi bumiMu, demi biji-biji yang atas kekuasaanMu akan segera Engkau tumbuhkan. Kami di situ, hingga matahari tegak di atas kepala kami dan tak lagi menyisakan tempat untuk bayang-bayang kami sendiri.

Kami mandi keringat ya Allah. Semua demi amanah yang kau titip pada kami. Ibu anak-anak kami, ibu kami, saudara-saudara kami. Demi itu semua ya Allah.

Jika sore tiba dan azhar usai. Kami kembali ke bumiMu. Tempat rejeki yang Engkau janjikan akan tumbuh. Berember-ember air kami pikul. Kami tuangkan dengan hati pada setiap biji yang Engkau ijinkan berpucuk.

Tak sehari ya Allah. Kami melakukannya berputar bulan. Hanya untuk menanti kembang putih yang Engkau titip di setiap pucuk tumbuhan kami.

Kami berdoa dengan khusyu' di gelap-gelap malam, memohon padaMu bunga-bunga putih itu berubah menjadi bulir hijau yang indah. Memohon dengan sangat tumbuh dengan sehat menjadi buah sempurna. Kemudian memerah serupa lukisan dari jauh. Karena hanya dengan itu, anak-anak kami bisa menyentuh sekolah, anak-anak kami bisa membaca kitab yang senantiasa mengangungkan namaMu.

Ya Allah... apa yang salah dari diri hambaMu ini. Hari ini ketiga harga buah tangan kami menjadi jauh lebih baik, semua orang seakan tak ikhlas melihat kami memiliki keuntungan yang sedikit lebih. Mereka yang kami pandang selama ini sebagai saudara seakan-akan berharap kami terus berkubang dengan kekurangan. Kami seakan-akan sangat tidak layak mendapatkan keuntungan dari keringat kami sendiri. Mereka begitu bahagia kalau kami tetap sekarat. Mereka bahagia jika tanaman-tanaman kami tak memberi keuntungan sama sekali.

Kami bingung ya Allah.

Padahal harga sebaik hari ini tak bertahan lama. Mungkin hanya sepertiga masa panen saja. Kalaupun itu berlangsung setengah musim, tetaplah kami tak akan cukup kuat untuk minum kopi di warung dengan nama aneh. Kami tetap menghindar dari makanan bulat yang namanya saja sudah diperdebatkan. Kami ingin menyimpan keuntungan yang ada demi harapan pada anak-anak kami kelak, menjadi hambaMu yang tawaddu'.

Sekali lagi kami bingung ya Allah yang Maha Pengasih.

Apakah saudara-saudara kami itu tak pernah tahu, bahwa untuk membuat rasa pedas itu tiba di saraf lidahnya, kami menyabung nyawa. Berliter-liter pestisida kami semprotkan. Sebahagian masuk ke paru-paru kami, menjadi jembatan yang baik untuk tuberculosis. Tapi kami tak peduli. Kami ingin saudara-saudara kami makan cabe tanpa jejak lalat buah di kulitnya.

Jika bunga-bunga indahnya muncul dan hujan menggugurkannya. Kami hanya bisa menangis sendiri. Perih. Tapi kami tak punya tempat mengadu kecuali padaMu ya Allah.

Tidakkah mereka, yang kami anggap saudara itu, melihat legam kulit kami, menyaksikan uzur usia kami tiba lebih awal dari semestinya? Menyaksikan kami dengan mata memerah karena panen yang gagal? Atau serapah tengkulak yang memenuhi satu desa karena pembayaran yang telat?

Ya Allah. Derita apalagi yang mesti kami tanggung? Ataukah memang kami adalah sebaris hambaMu yang tak boleh hidup sedikit layak?

Ya Allah yang Maha Rahman.
Sungguh kami hambaMu yang dirundung kebingungan yang tak terperi.
Selamat berhaari Jum'at.. Jangan lupa bahagia.


EmoticonEmoticon