Thursday, June 1, 2017

Postingan bagus di hari Kesaktian Pancasila

Postingan Bagus, Nemu di facebook Punya teman pas 1 juni lewat sehari..kekekekek...
Bulan-bulanan banjir di kala hujan dan kering gersang di kala kemarau. Kiranya demikian sajian tanah Timor kepada mata ini saat menjajakinya.
Mungkin bentuk laknat atas serakah manusia dalam memperlakukan alam. Dahulu tempat itu rimbun dengan jutaan kanopi Cendana, namun eksploitasi dalam kolonialisme bangsa Eropa hanya menyisahkan rerumputan kering.

Tapi okelah hanya sedikit ilustrasi. Saya tidak ingin membahas masa 1511, di hari sakral kehidupan sosial ini atau hari lahirnya Pancasila. Saya hanya terkesan pada tahun 1934 dimana Sang proklamator menjalani masa pengasingan di padang Timor oleh Kolonial.

Tepatnya 14 Januari 1934, Bung Karno bersama sang istri, Inggit Garnasih serta ibu mertua dan anak angkatnya, Ratna Djuami, tiba di rumah tahanan yang terletak di Kampung Ambugaga, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dalam beberapa tahun Bung Karno harus jauh dari aktifitas politik dan diskusi revolusi. Hidup di pedalaman bersama kaum tertinggal, terbelakang dan terluar.

Sukarno, harus menjadi petani. Sedang nalar kritisnya disalurkan melalui seni dan tulisan. Sedikit extreme (bagi mereka yanh hidup monoton), kehidupan sosial Sukarno harus berdampingan dengan mereka yang tidak se-Iman, sebab kampung pengasingan tersebut dihuni mayoritas Khatolik tetapi sederita. Namun, di sinilah Sukarno menemukan betapa Indah ber-Islam. Betapa Allah SWT sang maha agung. Betapa Allah SWT begitu menyayangi seluruh mahluk ciptaannya baik yang hidup, mati, ghaib, bahkan yang ingkar.

Dalam sepi dan heningnya tanah kering, di bawah pohon sukun, Sukarno menemukan lima butiran mutiara itu. Butiran mutiara yang menjadi penyeimbang segala perbedaan di bangsa ini. Mutiara yang dapat menerima semua suara tanpa perbedaan. Mutiara yang mempererat persaudaraan dan kekeluargaan meski tak sedarah.

“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi,” lantang Bung Karno, 1 Juli 1945 pasca pengasingan.

Tanggal itu kemudian ditandai sebagai tanggal bersejarah. Tanggal itu dijadikan sebagai hari lahir Pancasila, meski puluhan tahun berikutnya hanya cerita turun temurun bak dongeng. Ibarat anak, Pancasila nyaris tak diakui dan terlupakan. Anak yang lahir tak berakta hingga tak ada dasar pengakuannya dalam tata administrasi negara.

Bung Karno, merupakan perumus butiran itu. Bung Karno secara sadar menulis kata perkata. Namun, musabab apa seketika wacana Komunis yang diadopsi sistem pemerintah akan mencabik-cabik Pancasila. Sedang si anak Pancasila begitu jujur, begitu polos, begitu sejalan dengan siapa saja bahkan Komunis sekalipun. Sebab, kawan komunis sungguh se-visi dengan Pancasila.

Berjalannya waktu, Pancasila terbilang sakti namun revitalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat sangat jauh meninggalkan jasadnya. Pancasila seolah tersandera dan hidup dalam kerapuhan. Rakyatpun hidup semi bar-bar akibat kapitalisme tanpa memandang nasionalisme. Beruntunglah hawa syurga menyertai tanah ini, menumbuhkan tanaman dengan mudah hingga dapat menyambung napas penghuninya.

Rakyat hidup sebagai pemenang atas hidupnya. Seperti kata Cak Nun, masyarakat Indonesia adalah Champion of Live. Pemenang. Petarung dalam kehidupannya, meski sembari menyusui negaranya.

Penguasa silih berganti. Pancasila setengah kokoh nyaris ambruk. Sempoyongan, dipanjati kutu dan terinjak. Pancasila hendak ditukar. Pancasila yang menyangga kesatuan negara selama repoblik ini berdiri bakal disobek-sobek. Sedang Pancasila begitu iklas, begitu lugu, bahkan Pancasila tak ingin memusuhi siapapun.

Kehendak mereka bukan tanpa dasar. Kehendak mereka dipicu kesenjangan sosial berkepanjangan. Namun kebangkitan mereka juga rentan dengan serakah politik di balik tabir. Tapi, sesungguhnya salahkan Pancasila ? Salahkah Bung Karno ? Tidak. Mereka yang bersalah adalah yang menyandera dan mengesampingkan nilai Pancasila. Mereka yang bersalah adalah ibu-ibu kapitalis melalui tangan asing. Mereka yang bersalah adalah kaum borjuis yang tak rela melepas kekuasaan. Pancasila di "Kambing Hitamkan" dalam skenario politik.

Pancasila adalah mutlak ketika memilih NKRI. Pancasila adalah solusi atas keberagaman agama, suku, ras, golongan hingga takdir geografis. Pancasila mampu meredam iri dan dengki yang berujung perpecahan. Pancasila pun adil memperlakukan semua.

Andai saja Bung Karno melihat semua ini. Tembok Pancasila nyaris ambruk. Mungkin Bung Karno akan tertuduk dengan berkaca-kaca. Namun jika merefleksi, Pancasila yang lahir di atas derita. Pancasila yang lahir di atas darah dan bangkai kaum proletar. Pancasila yang lahir setelah nyawa mereka pergi. Mungkin Bung Karno akan menangis tersedu-sedu.(*)

Selamat hari lahir Pancasila. Terimakasih Joko Widodo telah mengembalikan hari ini. Kerja Kerja Kerja, demi cita-cita Pancasila.

Kendari, 1 Juni 2017
Oleh : Abdul Rajab Sabarudin


EmoticonEmoticon